Ketua PAM Jateng, Tegar Hary Pribadi, mengungkapkan alasan digelarnya kegiatan di lingkungan pesantren.
“Banyak UMKM yang tumbuh di bawah naungan pondok, tapi mereka masih mencatat keuangan secara tradisional. Bahkan ada yang sama sekali tidak membuat laporan,” jelasnya.
Menurut Tegar, minimnya pemahaman soal pencatatan keuangan bisa berakibat fatal, baik terkait kewajiban pajak maupun kelangsungan usaha.
“Kalau tidak paham SAK EMKM, pelaku UMKM bisa salah hitung pajak atau bahkan rugi tanpa sadar. Jadi kegiatan ini penting dipahami sejak awal,” tambah mahasiswa S2 Unissula Semarang itu.
Pengasuh pesantren,KH. M.Thohir, S.Pd. menilai sosialisasi tersebut sejalan dengan kurikulum pesantren yang mendorong santri berwirausaha.
“Di sini anak-anak kami latih usaha, misalnya bikin tempe untuk dijual. Jadi mereka perlu belajar cara mencatat pemasukan dan pengeluaran. Sosialisasi ini sangat membantu,” tuturnya.
Tak kurang dari 50 santri ikut serta dengan penuh antusias. Dewi Sinta (25), salah satu peserta, mengaku baru menyadari bahwa pencatatan keuangan berhubungan langsung dengan pajak.
“Kalau nggak ada laporan sesuai aturan, bisa kena pajak 5 persen dari omzet. Tapi kalau pakai SAK EMKM, pajaknya lebih adil, sesuai keuntungan,” ujarnya.
Senada, Nazwa Zalia Putri (17) menyebut ilmu tersebut langsung nyambung dengan pelajaran wirausaha yang dijalaninya.
“Kemarin saya sama teman-teman bikin produk singkong untuk dijual. Dengan ilmu ini, jadi tahu cara catat modal dan keuntungan biar lebih tertib,” kata siswi asal Jakarta itu.
Dari sisi pemerintah desa, Sekretaris Desa Pakumbulan, Rifqi Ahsanu, menekankan pentingnya materi tersebut untuk lebih dari 50 UMKM lokal.
“UMKM di sini kebanyakan di bidang fashion, seperti gamis dan celana. Tapi mayoritas masih pakai cara tradisional. Padahal kalau salah urus, bisa sampai ada tunggakan pajak miliaran seperti di desa sebelah,” tegasnya.
Rifqi memastikan pihak desa akan menindaklanjuti kegiatan ini dengan pelatihan lanjutan, termasuk pembuatan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Baik pihak pesantren, santri, maupun perangkat desa sepakat bahwa kegiatan semacam ini tidak cukup hanya berhenti pada sosialisasi. Mereka berharap ada pelatihan teknis agar laporan keuangan benar-benar bisa disusun sesuai standar.
“Kalau bisa ke depan ada pelatihan teknis. Jadi bukan hanya tahu teori, tapi benar-benar bisa bikin laporan sesuai standar,” pungkas Tegar.
(Riki)