Salah satu kejanggalan paling mencolok adalah tidak adanya papan merek proyek di lokasi pekerjaan. Lebih jauh, ketika dikonfirmasi, kepala tukang pekerja pun mengaku tidak mengetahui kapan tepatnya pekerjaan ini dimulai, dari mana sumber anggarannya, bahkan terkait standar pembayaran harian pekerja.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat. Feri Isrop, S.H, seorang penggiat anti korupsi Sumatera Selatan, angkat bicara dan memberikan penjelasan hukum terkait persoalan tersebut.
Menurut Feri, setiap proyek pembangunan, apalagi yang bersumber dari APBN atau APBD, wajib memasang papan nama proyek. Kewajiban ini diatur dalam berbagai regulasi, di antaranya:
1. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
Menjamin hak masyarakat memperoleh informasi terkait proyek pembangunan.
2. Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 jo. Perpres No. 16 Tahun 2018
Mengatur detail pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk kewajiban pemasangan papan proyek.
3. Permen PU No. 29/PRT/M/2006 dan Permen PU No. 12/PRT/M/2014
Menekankan bahwa proyek pembangunan fisik wajib mencantumkan papan informasi proyek yang memuat nama kegiatan, lokasi, nilai kontrak, sumber dana, serta pihak pelaksana.
“Ketika papan proyek tidak dipasang, publik akan sulit mengetahui detail pekerjaan, termasuk nilai anggaran dan siapa pelaksananya. Hal ini jelas mengurangi transparansi dan berpotensi melanggar aturan yang berlaku,” tegas Feri Isrop.
Lebih jauh, Feri menekankan, pemasangan papan proyek bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat.
Transparansi. Memberikan informasi jelas mengenai sumber dana, nilai proyek, dan pelaksana proyek, sehingga mencegah kecurigaan publik.
Akuntabilitas. Masyarakat bisa mengawasi kualitas serta kesesuaian proyek dengan standar yang telah ditetapkan.
Hak Masyarakat: UU KIP menegaskan bahwa warga berhak mengetahui segala bentuk pembangunan yang menggunakan uang negara.
“Jika masyarakat menemukan proyek tanpa papan merek, langkah yang bisa diambil adalah melapor kepada dinas terkait atau mengajukan permohonan informasi resmi. Masyarakat jangan diam, karena ini menyangkut uang rakyat,” ungkapnya.
Selain masalah papan proyek, polemik lain yang mencuat adalah ketidakjelasan upah harian pekerja. Kepala tukang yang diwawancarai mengaku tidak tahu bagaimana standar pembayaran harian ditetapkan.
Padahal, berdasarkan aturan, upah pekerja lepas di Sumatera Selatan harus merujuk pada Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar Rp3.681.571.
Jika menggunakan rumus perhitungan standar:
6 hari kerja/minggu: UMP ÷ 25 → sekitar Rp147.262/hari
5 hari kerja/minggu: UMP ÷ 21 → sekitar Rp175.313/hari
“Artinya, pembayaran upah harian pekerja tidak boleh lebih rendah dari angka tersebut. Jika di bawah standar, jelas ada pelanggaran aturan ketenagakerjaan,” jelas Feri.
Kasus rehab kantor desa G1 Mataram ini menambah daftar panjang sorotan publik terhadap pembangunan desa yang dinilai kurang transparan. Tidak adanya papan proyek, ketidakjelasan anggaran, serta upah pekerja yang diragukan kesesuaiannya dengan standar, menjadi alarm bagi pihak berwenang untuk segera bertindak.
“Masyarakat harus terus mengawasi. Jangan sampai pembangunan desa justru menjadi ladang praktik yang tidak sehat. Pemerintah desa wajib terbuka, karena pembangunan ini bukan untuk segelintir orang, tapi untuk kepentingan rakyat,” pungkas Feri Isrop.
( Guntur)