Kerjasama keduanya pada awalnya berjalan normal dengan sistem Free On Board (FOB). PT Buana Triarta mengirimkan barang sesuai kesepakatan, sementara tanggung jawab atas barang berpindah ke pihak Trentwood setelah dimuat ke kapal. Untuk memastikan kualitas, Trentwood bahkan menunjuk pemeriksa independen bernama Al Hadi Yusoef.
Namun, di tengah perjalanan bisnis, Trentwood menolak melakukan pembayaran termin berikutnya dengan dalih barang tidak sesuai spesifikasi. Ironisnya, barang tersebut seharusnya sudah melalui pemeriksaan dari pihak yang ditunjuk oleh Trentwood sendiri. Belakangan terungkap bahwa pemeriksa tidak benar-benar melakukan tugasnya, dengan alasan barang sudah terbungkus rapi sehingga tidak perlu dicek.
Merasa dirugikan, PT Buana Triarta akhirnya menunjuk ASP Law Office sebagai kuasa hukum untuk menggugat Trentwood dan Al Hadi ke Pengadilan Negeri Gresik. Gugatan ini dilayangkan guna menuntut keadilan dan memastikan pihak asing tunduk pada hukum Indonesia.
Sayangnya, pada sidang perdana, Trentwood tidak hadir, tidak mengirim perwakilan, bahkan tidak menunjuk kuasa hukum di Indonesia. Kondisi ini membuat proses hukum tertunda hingga enam bulan, karena pengadilan harus kembali mengeluarkan pemanggilan resmi.
Menurut Anthonius Adhi S., S.H., M.Hum., C.Med., CLTP., CMLE., CCLA. Managing Partner ASP Law Office, sikap Trentwood mencerminkan wanprestasi sekaligus ketiadaan itikad baik dalam berbisnis. Ketidakhadiran mereka dalam sidang dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap hukum Indonesia, meskipun perusahaan tersebut mendapatkan keuntungan dari aktivitas bisnis di Tanah Air.
"Kasus ini juga menimbulkan preseden buruk bagi iklim perdagangan internasional. Selain merugikan PT Buana Triarta secara materiil maupun reputasi, ketidakhadiran Trentwood menunjukkan lemahnya posisi pelaku usaha lokal dalam menghadapi mitra asing yang tidak patuh pada aturan hukum," ujar Anthonius dalam siaran persnya, Rabu (20/8/25).
ASP Law Office menilai perlunya regulasi baru yang mewajibkan setiap perusahaan asing yang berbisnis secara rutin di Indonesia untuk memiliki perwakilan hukum tetap. Tanpa aturan ini, proses penyelesaian sengketa akan selalu berlarut-larut, mahal, dan tidak efektif, sementara posisi pengusaha lokal tetap lemah.
Bagi PT Buana Triarta, perkara ini bukan sekadar persoalan nominal. Gugatan hukum yang dilayangkan adalah bentuk perjuangan atas prinsip keadilan, kedaulatan hukum, dan perlindungan bagi eksportir lokal yang beritikad baik.
Kasus Buana Triarta vs Trentwood menjadi pelajaran penting bagi pelaku usaha di Indonesia. Setiap kontrak dagang dengan pihak asing harus mencantumkan klausul kewajiban perwakilan hukum di Indonesia, serta disusun dengan pendampingan ahli hukum agar tidak menimbulkan kerugian yang sama di masa depan.
(Riki)