NIAS SELATAN – Proyek ekspansi jaringan telekomunikasi PT Telkom Akses di Kecamatan Somambawa, Kabupaten Nias Selatan, berubah menjadi ladang kecurigaan dan kemarahan. Alih-alih membawa manfaat digitalisasi, proyek ini justru meninggalkan jejak pelanggaran hak rakyat dan dugaan praktik korupsi berjamaah.
Tiang dan kabel jaringan Telkom telah terpasang di lahan-lahan milik warga tanpa izin, tanpa sosialisasi, tanpa pemberitahuan. Seolah masyarakat hanya penonton di atas tanah mereka sendiri.
Ketika ditanya, para pekerja hanya menjawab dengan kalimat yang mengindikasikan pembiaran sistematis: "Kami hanya pekerja, bukan pengambil keputusan."“Pekerjaan dilakukan diam-diam. Tidak ada sosialisasi. Tidak ada izin kami. Lahan kami dipakai seenaknya,” tegas KJ, salah satu warga yang tanahnya dilintasi kabel, saat diwawancarai awak media.
Ironisnya, berita acara hasil pertemuan antara pihak Telkom Akses dan tujuh kepala desa pada 1 Maret 2025 menyebutkan bahwa perusahaan telah menyepakati total kompensasi Rp 400 juta. Namun hingga kini, warga tidak pernah menerima uang tersebut secara transparan.
Lebih mencurigakan lagi, salah satu kepala desa yang dikonfirmasi langsung pada 22 April 2025, dengan gamblang menyebut bahwa uang tersebut “hanya uang pengamanan,” bukan sesuai nilai kesepakatan. Kepala desa bahkan menyatakan bahwa pihak Telkom Akses menyatakan tak sanggup membayar penuh.
Apakah ini bentuk korupsi yang dilakukan dengan ‘berita acara’ sebagai kedok legalitas?
Sudah tiga kali wartawan mencoba menghubungi Manajer PT Telkom Akses, Edi Harahap. Namun hingga Senin, 12 Mei 2025, yang bersangkutan masih bungkam. Sikap diam ini kian mempertebal dugaan bahwa telah terjadi praktik kotor dalam proyek ini.
Advokat Obedi Laia, S.H., M.H. pun menegaskan bahwa negara tidak boleh diam atas dugaan perampasan hak rakyat ini. Menurutnya:
• Proyek jaringan harus sesuai prosedur hukum dan keselamatan rakyat.
• Kompensasi wajib transparan, bukan sekadar formalitas kosong.
• Pemerintah dan aparat hukum harus menyelidiki tuntas aliran dana kompensasi.
Jika terbukti ada permainan, maka PT Telkom Akses dan para kepala desa dapat dijerat hukum pidana. Ini bukan sekadar soal kabel dan tiang-ini soal martabat dan keadilan rakyat kecil yang diinjak.
Warga Somambawa kini menuntut dua hal:
Pembayaran penuh sesuai berita acara, dan keadilan. Jika suara mereka terus diabaikan, proyek ini berisiko diboikot secara total.
Apakah koneksi digital harus dibayar dengan pengkhianatan terhadap rakyat?
(Red)