• Jelajahi

    Copyright © Metronewstv.co.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Kabupaten Banyuasin

    Sports

    Ironis, Kesultanan Deli Dalam Pusaran Lahan Sendiri Namun Masih Di Miliki Pihak Lain

    Metronewstv.co.id
    Sunday, June 29, 2025, 16:41 WIB Last Updated 2025-06-29T09:41:06Z

    Ket : Istana Maimun Salah Satu Bukti Sejarah Kesultanan Deli
    MEDAN - Menurut histori yang dikutip dari beberapa sumber, diketahui bahwa Kesultanan Deli didirikan pada tahun 1632 oleh Tuanku Panglima Gocah Pahlawan, seorang panglima perang dari Kesultanan Aceh yang ditugaskan untuk melihat wilayah pesisir timur Sumatera. 


    Seiring waktu, Ia menikahi adik perempuan Datuk Sunggal, penguasa tradisional wilayah Tanah Deli, yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Deli.


    Awalnya, Kesultanan Deli masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh, namun kemudian memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1669 di bawah kepemimpinan Tuanku Panglima Perunggit, putra dari Tuanku Panglima Gocah Pahlawan.


    Dilansir dari buku Sejarah Kesultanan Deli dan Peradaban Masyarakatnya oleh Muhammad Takari, Kesultanan Deli nama resminya yakni Kerajaan Al Mu'tasim Billah Deli sebagai pusat perdagangan yang maju di kawasan Selat Malaka. 


    Berjalannya waktu, tanah deli berkembang menjadi pusat perdagangan dan pertanian, terutama perkebunan tembakau, yang menarik banyak penduduk dan pedagang. 


    Para penduduk mulai berkembang sejak kawasan ini menjadi pusat pertanian tembakau Deli.


    Saat ini Kesultanan Deli dipimpin oleh Sultan Mahmud Aria Lamanjiji Perkasa Alamsyah, yang merupakan anak dari Sultan Ottoman Mahmud Perkasa Alam. 


    Sultan muda ini lahir pada tahun 1998, kala itu ia masih berusia delapan tahun dan dia harus siap menggantikan ayahnya yang telah berpulang.


    Awal Mula Perjanjian Konsesi Lahan Kesultanan Deli dan Deli Maatschappij


    Sebelumnya kota Medan hanyalah suatu kampung dalam Kerajaan Melayu Deli. Letaknya diapit oleh Sungai Deli dan Sungai Babura. Namun sejak tahun 1869, kampung Medan mulai dibangun oleh pengusaha Belanda untuk dijadikan  lahan penanaman tembakau. Sebagai penggerak dan pelopornya pada masa itu adalah Jacobus Nienhuys.


    Puncaknya, Tanah Kesultanan Deli mulai disewa oleh Belanda sejak tahun 1874. Melalui perjanjian konsesi yang memberikan hak sewa kepada perusahaan Belanda yaitu Deli Maatschappij untuk  mendirikan perkebunan tembakau, dengan jangka waktu yang bervariasi mulai dari 75 hingga 99 tahun lamanya. 


    Pada tahun 1887 tepatnya 1 Maret, pemerintah kolonial memindahkan ibukota Karesidenan Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan. 


    Tembakau Deli yang laku keras di pasar dunia telah mengubah wajah kampung Medan. Para tuan kebun Belanda yang membuka kantor dagang di Medan ikut meraup untung. 


    Di tangan mereka, kawasan yang semula tanah rawa ini disulap menjadi kota koloni dan sebagai kota pendulang uang.


    Tahun 1891, Sultan Makmun Perkasa Alam kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Deli dari Labuhan ke Medan.


    Sultan Deli kemudian menempati singgasananya di Istana Maimun yang megah. Pada sisi belakangnya menghadap sungai deli dan pada sisi depan menghadap ke jalan raya.


    Pada tanggal 1 April 1909, Kota Medan akhirnya memperoleh statusnya sebagai Gementee (Kota) baru. Pengukuhan itu diresmikan langsung oleh Gubernur Hindia Belanda J.B. van Heutz di Bogor.


    Merujuk pada Peta Tahun 1910, wilayah Kesultanan Deli meliputi wilayah Kota Medan sekarang, sebagian wilayah Kota Binjai, Deliserdang, Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, dan bahkan sebagian wilayah Kabupaten Batubara. Tanah-tanah yang luas itu dikonsesikan (disewakan) kepada pengusaha perkebunan Belanda. 


    Pada tahun 1958 terbitlah UU No.86 Tentang Nasionalisasi yang mengambil alih dan mengubah hak itu menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan (untuk kantor-kantor) dan sebagian Hak Pakai untuk kantor-kantor yang digunakan Pemerintah, tanpa membayar konvensasi kepada pihak Kesultanan Deli.


    Pasca nasionalisasi, pihak Kesultanan Deli tidak lagi mendapat pembayaran uang sewa dari pihak perkebunan atas pemakaian lahan-lahan seperti yang pernah diterima oleh Kesultanan Deli dari pihak Onderneming Belanda. 


    Padahal, merujuk pada UU No. 86 Tahun 1958  mewajibkan kepada negara untuk membayar ganti rugi kepada pihak-pihak yang asetnya melekat pada perusahaan perkebunan Belanda itu.


    Apakah Lahan Konsesi Harus Dikembalikan Kepada Kesultanan Deli


    Peraturan terkait pengembalian lahan konsesi kepada Kesultanan Deli merujuk pada perjanjian konsesi awal yang dibuat antara Kesultanan Deli dengan pihak Belanda, khususnya terkait hak-hak atas tanah yang diberikan dalam masa konsesi.


    Setelah masa konsesi berakhir, atau jika tanah tidak lagi digunakan sesuai peruntukan, maka tanah tersebut seharusnya dikembalikan kepada Kesultanan Deli.


    Munculnya Undang-undang Nasionalisasi (UU No. 86 Tahun 1958) mengambil alih hak konsesi perusahaan Belanda dan mengubahnya menjadi Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai, ternyata menimbulkan konflik saling klaim terkait penguasaan lahan yang telah habis masa konsesinya.


    Proses nasionalisasi dan perubahan hak atas tanah menimbulkan konflik terkait pengembalian hak atas tanah kepada Kesultanan Deli, terutama karena ada klaim bahwa hak-hak tersebut tidak sepenuhnya dihormati atau tanah tidak dikembalikan setelah masa konsesi berakhir.


    Kesultanan Deli menekankan bahwa jika tanah tersebut digunakan untuk kepentingan umum, maka tidak menjadi masalah, tetapi jika tanah tersebut dikuasai untuk kepentingan pribadi atau komersial, maka harus dikembalikan kepada pemilik sah.


    Perspektif Hukum Dalam Konsesi Eks Lahan Kesultanan Deli


    Konsesi lahan Kesultanan Deli, terutama yang terkait dengan perkebunan, dalam perspektif hukum, memiliki sejarah panjang dan kompleks, yang melibatkan berbagai aturan hukum adat, hukum kolonial, dan hukum positif Indonesia.


    Hak-hak atas tanah ini kemudian menjadi sumber konflik ketika terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan perubahan status hak atas tanah. 


    Aspek Hukum Konsesi Lahan Kesultanan Deli antara lain :


    Hukum Adat :

    Pada awalnya, hak atas tanah di wilayah Kesultanan Deli diatur oleh hukum adat yang memberikan hak ulayat kepada masyarakat adat setempat.


    Hukum Kolonial :

    Pemerintah kolonial Belanda memberikan konsesi lahan kepada perusahaan perkebunan, seringkali tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat.


    Hukum Positif Indonesia :

    Setelah kemerdekaan, hak-hak atas tanah ini diatur oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengakui beberapa hak, seperti Grant Sultan, yang merupakan hak yang ada di wilayah eks swapraja Kesultanan Deli.


    Nasionalisasi :

    Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi mengambil alih dan mengkonversi hak konsesi menjadi Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB), seringkali tanpa memberikan kompensasi kepada Kesultanan Deli.


    Sengketa Hukum :

    Konflik muncul ketika perusahaan perkebunan negara atau pengembang mengklaim hak atas tanah konsesi, sementara Kesultanan Deli dan masyarakat adat merasa kehilangan hak-hak mereka.


    Gugatan Hukum :

    Kesultanan Deli telah menggugat beberapa pihak, termasuk Kementerian BUMN dan pengembang, atas penguasaan tanah yang dianggap tidak sah, serta meminta pembatalan status hak atas tanah dan ganti rugi.


    Harapan dan Solusi Dari Pemerintah


    Pemerintah Indonesia telah terlibat dalam upaya penyelesaian konflik lahan eks konsesi Kesultanan Deli, terutama yang terkait dengan klaim hak atas tanah oleh Kesultanan Deli. 


    Upaya ini melibatkan berbagai tingkatan pemerintahan, termasuk Kementerian BUMN, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta pemerintah daerah.


    Beberapa langkah yang telah dan sedang dilakukan pemerintah dalam mengatasi konflik ini meliputi :

    1. Nasionalisasi Lahan

    2. Penyelesaian Melalui Tim

    3. Penghapusan Aset

    4. Koordinasi Antar Instansi

    5. Pendekatan Hukum dan Negosiasi

    6. Penyelesaian Konflik di Tingkat Lokal


    Dengan kata lain, Pemerintah beserta stake holder yang lain sangat diharapkan memberikan solusi dan penghargaan yang terbaik kepada warga negara terutama kepada pihak Kesultanan Deli yang telah berjasa dan berkontribusi dalam sistem perekonomian dimasa lalu lewat program Konsesi (Sewa) lahan. 


    (Afrialdi Nasution)

    Komentar

    Tampilkan