-->
  • Jelajahi

    Copyright © Metronewstv.co.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Kabupaten Banyuasin

    Sports

    Ketidakadilan dalam Kebijakan Hutan: Warisan Leluhur yang Terpinggirkan oleh Status “Hutan Lindung”

    Metronewstv.co.id
    Friday, October 31, 2025, 11:52 WIB Last Updated 2025-10-31T05:54:17Z

    Ket: Foto Ilustrasi
    KALBAR - Di Berbagai penjuru Indonesia, hutan bukan sekadar hamparan pepohonan hijau. Ia adalah warisan hidup yang menjadi bagian dari identitas masyarakat adat tempat menggantungkan hidup, menanam nilai budaya, dan menjaga keseimbangan alam. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, hubungan harmonis antara manusia dan hutan itu mulai retak.


    Banyak kawasan yang selama ratusan tahun dikelola masyarakat adat secara turun-temurun kini berubah status menjadi “hutan lindung” atau “kawasan konservasi” yang dikuasai negara. Ironisnya, kebijakan tersebut sering kali diterapkan tanpa konsultasi dan tanpa melibatkan masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan dengan kearifan lokal mereka.


    Menurut berbagai laporan lapangan, penetapan kawasan hutan lindung kerap membuat warga adat kehilangan hak akses terhadap tanah, hasil hutan, dan sumber penghidupan mereka. Aktivitas yang sebelumnya legal seperti berladang, berburu, atau mengambil hasil hutan non-kayu, tiba-tiba dianggap melanggar hukum.


    Padahal, Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”


    Namun, pengakuan konstitusional ini sering kali tidak diikuti oleh praktik di lapangan. Banyak masyarakat adat justru diperlakukan sebagai “pendatang ilegal di tanah sendiri”, terpinggirkan oleh kebijakan yang seharusnya melindungi mereka.


    Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada konservasi lingkungan sering kali mengabaikan aspek sosial dan kemanusiaan. Padahal, sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa pengelolaan hutan harus menjamin keberlanjutan fungsi lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat.


    Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan kebijakan justru lebih menekankan pada aspek administratif dan konservatif tanpa memperhitungkan nasib warga di lapangan. Akibatnya, banyak masyarakat adat yang kehilangan mata pencaharian, kian terpuruk secara ekonomi, bahkan kehilangan jati diri sebagai penjaga hutan.


    Kondisi tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 36 yang menegaskan hak setiap orang untuk mempunyai milik pribadi, serta Pasal 6 ayat (2) yang mengakui hak masyarakat adat atas tanah ulayat.


    Beberapa kasus di lapangan bahkan menunjukkan adanya kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berusaha mempertahankan haknya. Mereka dianggap melanggar hukum, padahal sesungguhnya mereka sedang mempertahankan warisan leluhur yang dijaga selama berabad-abad.


    Pemerintah didesak untuk meninjau ulang kebijakan kehutanan yang mengabaikan kepentingan masyarakat adat. Diperlukan reformasi kebijakan berbasis keadilan ekologis dan sosial, di mana masyarakat adat dilibatkan secara aktif dalam setiap proses penetapan dan pengelolaan kawasan hutan.


    Pendekatan “perhutanan sosial”, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016, dapat menjadi solusi. Skema ini memberikan ruang legal bagi masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari dan produktif tanpa kehilangan hak atas tanah mereka.


    Perubahan status hutan dari warisan nenek moyang menjadi hutan lindung tidak semestinya menjadi alat penindasan baru terhadap masyarakat adat. Negara harus hadir bukan sebagai pengambil hak, melainkan sebagai pelindung keadilan ekologis.


    Selama masyarakat adat masih dianggap sebagai pengganggu, bukan penjaga, maka keadilan dalam kebijakan hutan hanyalah ilusi. Sudah saatnya pemerintah menegakkan amanat konstitusi: “mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak masyarakat adat sebagai bagian sah dari bangsa Indonesia.”


    (DEDE BLACK)

    Komentar

    Tampilkan