Maumere - Keputusan Menteri Desa (Kepmendes) Nomor 3 Tahun 2025 mewajibkan setiap Desa mengalokasikan anggaran Dana Desa (DD) minimal 20% untuk program ketahanan pangan. Pengalokasian melalui struktur pembiayaan APB Desa. Kamis 13/11/2025.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dianggarkan dari struktur belanja APB Desa. Sehingga, Desa tidak lagi mendapatkan pengembalian atas dana yang dikeluarkan. Bantuan ketahanan pangan, oleh pemerintah Desa langsung diberikan kepada penerima manfaat baik secara kelompok maupun perorangan.
Pengelolaan anggaran ketahanan pangan kali ini diserahkan kepada Badan Usaha Milik Desa atau BUM Desa agar dapat doptimalkan dan dikelola secara lebih efektif dan berkelanjutan. Dana Desa tidak sekali pakai, tetapi justru bisa berkembang. Pengalokasian anggaran ketahanan pangan tidak dilakukan secara berulang.
Pengelolaan ketahanan pangan oleh BUM Desa diharapkan membawa konsekuensi keuntungan. Dan, mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan Desa. Sebab, dijalankan menggunakan mekanisme bisnis.
Di sini, muncul pertanyaan, apakah BUM Desa hanya menjalankan bisnis murni? Dengan kata lain, apakah usaha yang dijalankan BUM Desa hanya fokus pada pencarian laba komersial semata?
Istilah bisnis murni mengacu pada fungsi BUM Desa sebagai lembaga komersial yang bertujuan mendapatkan keuntungan. Bisnis murni berbeda dengan bisnis sosial yang mengelola aset dan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa, seperti melalui perdagangan, penyewaan, atau agrobisnis.
Kita kembali melihat Kepmendes Nomor 3 Tahun 2025. Di dalam Kepmendes Nomor 3 Tahun 2025 disebutkan, penggunaan Dana Desa minimal 20 % ketahanan pangan diarahkan untuk:
1. Mendorong produksi pangan lokal (pertanian, peternakan, perikanan).
2. Memperkuat BUM Desa/lembaga ekonomi desa sebagai pelaksana.
3. Meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Lebih lanjut, Kepmendes Nomor 3 Tahun 2025 dengan jelas menyebutkan bahwa pengelolaan ketahanan pangan Desa mencakup aspek ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan, yang meliputi kecukupan gizi, keberlanjutan produksi, dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, pengelolaan ketahanan pangan Desa tidak hanya berorientasi pada keuntungan bisnis semata tetapi juga diarahkan untuk meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat Desa. Berikut alasannya:
1. Cakupan yang lebih luas: Ketahanan pangan mencakup ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan, dan stabilitas pangan, yang lebih dari sekadar keuntungan finansial.
2. Fokus pada masyarakat: Tujuan utamanya adalah memastikan kesejahteraan masyarakat desa, bukan hanya menghasilkan keuntungan. Hal ini tercermin dalam undang-undang yang mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi rumah tangga yang memiliki pangan cukup, berkualitas, aman, merata, dan terjangkau.
3. Aspek yang beragam: Pengelolaan yang baik harus mempertimbangkan produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan, dan distribusi yang merata, bukan hanya produk yang paling menguntungkan secara bisnis.
4. Kesejahteraan dan stabilitas: Ketersediaan pangan yang baik dapat mengurangi ketimpangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan, yang pada akhirnya memperkuat stabilitas di tingkat desa dan nasional.
Sejalan dengan itu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara hingga perorangan yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup jumlah dan mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
Apakah BUM Desa dapat Membangun Kerjasama Kemitraan dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Desa?
Kepmendes Nomor 3 Tahun 2025 menjelaskan, dalam pengelolaan ketahanan pangan, BUM Desa dapat membentuk unit usaha baru di bidang pertanian atau mengoptimalkan yang sudah ada, seperti lumbung pangan, toko Desa, atau unit pengolahan hasil panen.
BUM Desa juga dapat berkolaborasi dengan pelaku ekonomi lokal seperti petani, peternak, nelayan, dan kelompok tani melalui kerja sama dan kemitraan
Kerja sama kemitraan adalah kolaborasi antara dua atau lebih entitas bisnis untuk mencapai tujuan bersama yang saling menguntungkan.
Tujuan utamanya, berbagi sumber daya, keahlian, dan risiko untuk memperluas jangkauan pasar, mempercepat pertumbuhan, dan meningkatkan kinerja bisnis.
BUMDes sebagai pengelola anggaran minimal 20 % Dana Desa. Namun, pelaksanaan teknis di lapangan bisa diserahkan kepada kelompok tani seperti penggarapan lahan, penanaman, perawatan sampai pada pemanenan.
Hal ini akan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Desa, sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatkan pendapatan dari sektor pertanian.
Peran BUM Desa di sini adalah sebagai penyedia modal dan bantuan keuangan, penyedia sarana produksi, bibit, pupuk, dan alat-alat pertanian lainnya untuk mendukung produktivitas.
BUM Desa juga berperan sebagai wadah penyaluran hasil pertanian, membantu distribusi dan pemasaran produk pertanian dari kelompok tani untuk mencapai pasar yang lebih luas.
BUM Desa dan kelompok tani terlebih dahulu menyepakati skema kerjasama bisnis, diantaranya mengatur tentang pembagian hasil. Bagi hasil disesuaikan dengan kesepakatan, boleh berupa hasil panen langsung atau setelah hasil panen dijual, demi meningkatkan kesejahteraan petani.
Selain sistem bagi hasil, bisa juga mengunakan sistem upah. Kelompok tani diposisikan sebagai pekerja yang hanya mendapatkan upah dari jasa penggarapan lahan berdasarkan skema kerjasama yang disepakati.
Pertanyaan berikutnya skema apa yang paling tepat: Upah atau Bagi Hasil?
Skema kerjasama bisnis merupakan kesepakatan atau perjanjian yang mengikat untuk mencapai tujuan bersama yang saling menguntungkan.
Seperti disebutkan di atas, BUM Desa dapat membangun kerjasama kemitraan dengan pelaku ekonomi atau entitas bisnis di Desa.
BUM Desa dan kelompok tani perlu menentukan pilihan antara sistem upah dan sistem bagi hasil bergantung pada tujuan spesifik dan kondisi Desa.
Sistem upah cocok jika tujuannya adalah memberikan kepastian pendapatan dan mengutamakan kepatuhan terhadap instruksi.
Sementara itu, sistem bagi hasil lebih cocok jika tujuannya adalah memotivasi pekerja untuk meningkatkan hasil panen demi keuntungan bersama, karena ada insentif langsung terhadap hasil kerja keras.
Namun demikian, kedua sistem memiliki keunggulan dan kelemahan, antara lain:
Sistem upah, memiliki keunggulan memberikan kepastian pendapatan bagi pekerja, terlepas dari hasil panen. Cocok untuk pekerjaan yang lebih terstruktur dan membutuhkan instruksi yang jelas.
Kelemahan dari sistem ini, motivasi pekerja mungkin lebih rendah karena tidak ada keterikatan langsung dengan hasil akhir panen.
Sedangkan, sistem bagi hasil mempunyai keunggulan, motivasi kerja lebih tinggi karena keuntungan langsung terkait dengan hasil panen.
Di samping itu, mendorong pekerja untuk lebih bertanggung jawab dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan hasil maksimal.
Kelemahan sistem ini, pendapatan pekerja tidak pasti dan bergantung pada hasil panen. Perlu kesepakatan yang jelas mengenai pembagian biaya dan hasil panen antara pemilik modal dan pekerja.
Pemilihan kedua sistem ini dapat dilakukan melalui beberapa pertimbangan:
1. Tujuan program: Apakah fokusnya pada penyediaan lapangan kerja yang pasti atau pada peningkatan produktivitas dan hasil panen?
2. Kondisi Desa: Apakah Desa memiliki kondisi kerja yang stabil atau rawan bencana?
3. Kesepakatan: Pastikan ada kesepakatan yang jelas dan tertulis, terutama untuk sistem bagi hasil, mengenai pembagian tugas, biaya, dan hasil panen.
4. Keterlibatan masyarakat: Jika memungkinkan, pertimbangkan model yang menggabungkan elemen kedua sistem untuk menciptakan keseimbangan antara kepastian dan insentif.
Menurut sahabat Pendamping Desa, manakah yang paling tepat untuk diterapkan di Desa kita masing-masing? (tppmapitara)
(Silvester Moan Nurak)

























