PEMALANG - Kemiskinan dan ketimpangan pembangunan masih menjadi tantangan nyata di wilayah pedesaan Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 54% dari 24,06 juta penduduk miskin di Indonesia tinggal di desa, menjadikan kawasan pedesaan sebagai episentrum persoalan kemiskinan nasional.
Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah memprioritaskan pembangunan desa yang inklusif dan berkelanjutan melalui program Dana Desa. Pada tahun 2024, anggaran Dana Desa yang bersumber dari APBN mencapai Rp71,2 triliun dan disalurkan ke lebih dari 75.000 desa di seluruh Indonesia. Namun, efektivitas program ini kerap terkendala oleh lemahnya tata kelola, termasuk penyalahgunaan pencatatan aset desa dan praktik korupsi yang terus memperlebar kesenjangan sosial serta memperlambat kemajuan pembangunan.
Melansir dari https://jaga.id/berita/kerentanan-pencatatan-tanah-desa-dorong-transparansi-untuk-cegah-gratifikasi, disebutkan bahwa salah satu persoalan krusial yang sering muncul adalah penyalahgunaan tanah desa dan praktik gratifikasi oleh oknum aparatur. Tanah desa—khususnya tanah kas desa—sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau pihak luar karena minimnya dokumentasi dan lemahnya pengawasan.
Padahal, tanah desa seharusnya menjadi aset produktif yang dapat mendorong kesejahteraan masyarakat. Namun dalam praktiknya, tak jarang tanah tersebut disewakan tanpa prosedur yang sah, dialihkan secara diam-diam kepada investor, bahkan hilang dari pencatatan aset desa. Kondisi ini mempertegas urgensi reformasi dalam sistem pencatatan dan pengelolaan tanah desa yang transparan dan akuntabel.
Secara hukum, pengelolaan tanah desa telah diatur dalam berbagai regulasi. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 76–77, menyebutkan bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengelola aset desa seperti tanah kas desa (TKD), tanah bengkok, titisara, tanah hibah, dan tanah hasil redistribusi. Namun, pengelolaan ini tetap harus merujuk pada ketentuan pertanahan nasional dan dilakukan dengan prinsip akuntabilitas.
Hal ini diperkuat oleh Permendagri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa, yang menyatakan bahwa tanah kas desa merupakan bagian dari aset desa yang wajib dicatat secara administratif. Pemanfaatannya hanya dapat dilakukan melalui penyewaan resmi, kerja sama pemanfaatan, atau bentuk kerja sama lain dengan pihak ketiga, yang seluruhnya harus tercantum dalam APBDes dan tidak menghilangkan hak milik desa atas tanah tersebut.
Contoh baik datang dari Desa Kotaraya Selatan, Kecamatan Mepanga, Kabupaten Parigi Moutong. Desa ini menjadi teladan dalam pengelolaan dan pencatatan tanah kas desa secara tertib dan transparan. Pada 25 Mei 2021, Kotaraya Selatan terpilih sebagai peserta program Desa Cinta Statistik (Desa Cantik) dari BPS karena tingkat kerapian dan akurasi data aset desanya, termasuk pencatatan tanah.
Tidak hanya itu, sejak 2023, desa ini juga aktif dalam program Desa Anti Korupsi yang digagas KPK bekerja sama dengan Kemendes dan Kemendagri. Dengan nilai 95,5, Kotaraya Selatan menjadi salah satu desa dengan skor tertinggi di Sulawesi Tengah. Pelibatan aparat desa dan masyarakat dalam bimbingan teknis antikorupsi menitikberatkan pada pengelolaan keuangan dan aset desa secara sesuai aturan dan akuntabel.
Kotaraya Selatan membuktikan bahwa pencatatan aset yang tertib dan pemanfaatan tanah berdasarkan APBDes bukan hanya mungkin dilakukan, tetapi juga mampu mencegah gratifikasi serta penyalahgunaan aset secara efektif.
Sebagai langkah preventif yang lebih menyeluruh, sejumlah tindakan konkret perlu diimplementasikan. Di antaranya:
1. Pengawasan independen terhadap transaksi tanah desa melalui audit berkala oleh lembaga resmi.
2. Pelibatan aktif masyarakat dalam pengawasan, difasilitasi dengan saluran pelaporan yang aman dan mudah diakses, seperti sistem whistleblowing yang terintegrasi.
3. Penguatan kapasitas aparatur desa, terutama dalam memahami prinsip tata kelola yang baik (good governance), yaitu integritas, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
4. Pelatihan rutin dan pendampingan teknis oleh instansi terkait untuk meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan aset desa secara profesional.
Dengan menegakkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta membangun budaya integritas di tingkat desa, potensi gratifikasi dalam pengelolaan tanah desa dapat ditekan secara signifikan. Langkah-langkah ini juga menjadi bagian dari gerakan nasional pemberantasan korupsi yang dimulai dari akar pemerintahan, yaitu desa—sebagai garda terdepan pelayanan publik.
(Eko B Art)