Berau – Bisnis hiburan malam di Kabupaten Berau, yang berkembang pesat di kecamatan-kecamatan utama seperti Tanjung Redeb, Teluk Bayur, dan Sambaliung, kini menjadi pusat kontroversi. Warga mengeluhkan gangguan ketertiban umum, sementara dugaan adanya praktik iuran tetap dan kelonggaran pengawasan memunculkan pertanyaan besar tentang transparansi dan penegakan hukum. Rabu 17/9/2025.
Keresahan Warga dan Ancaman Kualitas Hidup, dan Keluhan utama dari warga adalah kebisingan yang ekstrem dan durasi operasional yang melewati batas wajar.
“Musik berisik sampai jam 2 atau bahkan lebih,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
“Anak-anak sampai terbangun kaget dan menangis.” Tambahannya
Kondisi ini tidak hanya mengganggu jam istirahat, tetapi juga dikhawatirkan berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik masyarakat sekitar.
Selain itu, peredaran minuman beralkohol (miras) kelas tinggi di THM menjadi sorotan serius. Hal ini tidak hanya memicu masalah sosial, tetapi juga mengancam nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh masyarakat setempat.
Asosiasi THM: Dinding Keterbukaan dan Dugaan Iuran Misterius
Ketika dimintai konfirmasi, Ketua Asosiasi THM Rental Berau, Bambang, menolak untuk memberikan keterangan. Sikap tertutup ini memicu spekulasi publik mengenai kurangnya pengawasan dan potensi penyimpangan. Lebih lanjut, tim awak media mencatat dugaan kuat bahwa para pemilik THM menyetorkan iuran tetap kepada asosiasi.
Praktik ini, yang nominalnya disepakati secara internal, menimbulkan pertanyaan serius: Apakah iuran ini digunakan untuk memuluskan operasional ilegal atau hanya sebatas biaya keanggotaan? Tanpa transparansi, publik akan terus meragukan komitmen THM terhadap regulasi yang berlaku.
Suara Ulama dan Pertanyaan untuk Pemerintah
Dr. H. Syarifuddin Israil Sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Berau, dalam komentarnya yang tegas, mengingatkan bahwa tugas MUI adalah menegakkan nilai-nilai agama.
Menurutnya, meskipun THM memiliki aspek positif, banyak di antaranya yang beroperasi secara ilegal dan meresahkan masyarakat.
“Kandungan minuman beralkohol tinggi saya kira dilarang oleh agama, jangan dikonsumsi,” tegas Ketua MUI.
Ia juga menyoroti bahwa bisnis yang memperdagangkan barang haram—menurut ajaran Islam—tetap menjadi tanggung jawab pihak berwenang untuk ditindak, terlepas dari ada atau tidaknya izin.
Fatwa MUI tentang masalah ini sudah jelas, namun Ketua MUI menegaskan bahwa wewenang untuk menindak ada pada pemerintah daerah dan aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Satpol PP, dan Dinas Sosial.
“MUI tidak untuk membubarkan, hanya mengingatkan dan menasehati,” timpalnya.
Ini membawa kita kembali pada pertanyaan mendasar: Apakah pertumbuhan industri hiburan malam di Berau sejalan dengan visi pembangunan daerah?
Masyarakat dan media mendesak aparat berwenang untuk menegakkan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur THM secara profesional dan tanpa pandang bulu, demi menjaga hak-hak warga dan ketertiban sosial yang fundamental. **