Warga menegaskan, jalan yang ditutup itu merupakan tanah milik masyarakat yang tidak pernah diberikan kepada pihak PT. PTS. Oleh karena itu, mereka melarang perusahaan untuk terus melintasi maupun memanen hasil sawit di lahan tersebut.
Kuasa hukum masyarakat, Yudi Rijali Muslim, S.H., M.H., dalam keterangannya menyampaikan bahwa pihak manajemen PT. PTS telah menghubungi dirinya pada pagi hari terkait aksi warga. Manajemen disebut ingin meminimalisir potensi konflik horizontal di lapangan.
Yudi menegaskan bahwa karyawan perusahaan bekerja berdasarkan perintah pimpinan. “Kalau ada karyawan yang marah kepada masyarakat, berarti itu sudah instruksi dari atasan. Karena itu, perusahaan jangan lepas tangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yudi juga menegaskan bahwa segala bentuk komunikasi dan dialog harus dilakukan secara resmi. “Jika perusahaan ingin berdialog, silakan bersurat kepada kantor hukum DPP ARUN. Kami akan merespons secara formal. Perjuangan masyarakat ini tidak akan mundur,” tegasnya.
Ia menambahkan, selama puluhan tahun PT. PTS diduga telah memanfaatkan lahan di luar HGU, dan hal itu merupakan tindakan melawan hukum. “Sedangkan masyarakat sah secara hukum ketika memperjuangkan hak atas tanah mereka sendiri,” ucap Yudi.
Perwakilan warga Desa Teluk Bayur juga menegaskan komitmen mereka untuk terus bersama ARUN dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat. “Kami akan tetap bersama-sama ARUN, memperjuangkan hak kami sampai titik akhir,” kata salah satu tokoh masyarakat.
Aksi ini menambah panjang daftar konflik agraria di wilayah Kabupaten Ketapang, yang banyak melibatkan perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal terkait batas HGU dan lahan adat.
(Jailani)