LUBUK LINGGAU - Kegiatan Pesta Olahraga Provinsi (PORPROV) Sumatera Selatan ke-XV yang digelar di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) sejak 18 hingga 31 Oktober 2025 ternyata menyisakan banyak catatan kelam, terutama bagi Kontingen KONI Kota Lubuklinggau.
Alih-alih menorehkan prestasi membanggakan, berbagai persoalan internal dan dugaan ketidakberesan pengelolaan dana hibah mencuat ke permukaan. Sejumlah cabang olahraga (cabor) bahkan mengeluhkan minimnya uang saku dan uang makan selama mengikuti ajang bergengsi tersebut, padahal KONI Lubuklinggau menerima kucuran dana hibah sebesar Rp 3,1 miliar dari Pemkot Lubuklinggau.
Berdasarkan hasil klasemen sementara, Kota Lubuklinggau hanya mampu bertengger di posisi ke-6, turun dua peringkat dari PORPROV ke-XIV di Kabupaten Lahat yang menempatkan Lubuklinggau di urutan ke-4 besar.
Ironisnya, penurunan prestasi ini justru terjadi di tengah besarnya anggaran hibah KONI Lubuklinggau yang mencapai Rp 3,1 miliar. Jika dibandingkan, KONI Kabupaten Musi Rawas dengan anggaran jauh lebih kecil, yakni Rp 1,1 miliar, justru melesat ke posisi ke-3 besar setelah sebelumnya di peringkat ke-13 pada PORPROV XIV.
Perbandingan tersebut semakin mempertegas adanya ketimpangan dalam manajemen dan efektivitas penggunaan dana di tubuh KONI Lubuklinggau.
Salah satu keluhan paling tajam datang dari cabang olahraga sepak takraw yang mewakili Kota Lubuklinggau.
Melalui wawancara via WhatsApp dengan Gatot, Ketua Umum Persatuan Sepak Takraw Indonesia (PSTI) Kota Lubuklinggau, pada Sabtu (25/10/2025), ia mengungkapkan rasa kecewa mendalam terhadap perlakuan tidak manusiawi terhadap atlet dan pelatihnya.
“Uang makan hanya Rp 75 ribu per atlet per hari, uang saku Rp 540 ribu untuk atlet dan Rp 600 ribu untuk pelatih selama 10 hari. Kalau dibagi per hari, pelatih cuma dapat Rp 60 ribu dan atlet Rp 45 ribu. Ini sangat tidak manusiawi untuk mereka yang berjuang mengharumkan nama kota,” ujar Gatot.
Ia menambahkan bahwa uang penginapan sebesar Rp 150 ribu per kamar untuk tiga orang sudah dibayarkan melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora), namun uang saku hanya dihitung untuk enam hari meski masa pertandingan berlangsung hingga sepuluh hari.
“Kami sudah menuntut ke KONI agar sisa empat hari uang saku dibayarkan, tapi katanya uangnya tidak cukup. Ketua KONI hanya janji uang makan bisa dibayar, uang saku tidak,” ungkapnya kesal.
Sorotan keras juga datang dari Ferry Isrop, S.H., Alumni Hukum Tata Negara Bumi Silampari Angkatan II. Ia menyatakan keprihatinan mendalam terhadap nasib atlet yang disebutnya “nyaris kelaparan” akibat kebijakan tidak adil dari KONI Kota Lubuklinggau.
“Saya sangat prihatin atas kejadian ini. Atlet yang sedang berjuang membawa nama daerah justru diperlakukan tidak adil. Saya mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) agar segera melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana hibah sebesar Rp 3,1 miliar ini,” tegas Ferry.
Ia juga menilai bahwa KONI seharusnya menjadi wadah pembinaan olahraga, bukan tempat praktik yang merugikan atlet. Menurutnya, indikasi penyalahgunaan anggaran harus ditelusuri secara transparan agar publik mendapatkan kejelasan dan keadilan.
Sejumlah pemerhati olahraga dan masyarakat Kota Lubuklinggau kini menuntut transparansi dan audit terbuka terhadap penggunaan dana hibah tersebut. Mereka menilai bahwa prestasi yang menurun dan keluhan atlet yang masif menunjukkan adanya masalah serius di manajemen KONI.
Dugaan bahwa anggaran tidak sepenuhnya tersalurkan sesuai peruntukan memperkuat desakan agar Pemkot Lubuklinggau dan APH menindaklanjuti dugaan penyimpangan di tubuh KONI.
Beberapa media lokal juga telah mengangkat persoalan ini, menyebutnya sebagai “catatan hitam prestasi olahraga Lubuklinggau” yang memalukan di tingkat provinsi.
Di tengah sorotan publik ini, masyarakat berharap Pemerintah Kota Lubuklinggau tidak tinggal diam. Evaluasi menyeluruh terhadap struktur, sistem anggaran, dan kepemimpinan KONI menjadi tuntutan utama agar dunia olahraga Lubuklinggau kembali berprestasi dan profesional.
Karena sejatinya, olahraga adalah soal semangat, kebanggaan, dan keadilan, bukan sekadar anggaran besar yang tak berdampak bagi atlet yang berjuang di lapangan.
( Guntur )






















