Dalam penjelasannya, Bupati Timor Tengah Utara Yoseph Falentinus Delasale Kebo menyebut bahwa hasil verifikasi menunjukkan adanya perbedaan antara data yang dimiliki Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan hasil pemeriksaan pemerintah daerah.
Menurut Falen, sapaan akrab masyarakat Timor Tengah Utara bahwa keputusan pembatalan bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan koreksi terhadap proses seleksi yang dianggap tidak sesuai aturan. Ia beralasan, langkah ini diambil demi menjaga integritas sistem rekrutmen Aparatur Sipil Negara di TTU.
Namun, bagi para peserta, penjelasan tersebut sulit diterima. Mereka menilai keputusan itu tidak berdasar, sebab kelulusan mereka telah diumumkan secara resmi oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN). Banyak di antara mereka yang telah menerima Nomor Induk (NIP) PPPK, bahkan bersiap untuk menandatangani kontrak kerja. “Kami sudah dinyatakan lulus sah oleh BKN. Lalu, kenapa tiba-tiba dibatalkan?” keluh salah satu peserta dalam aksi di depan Kantor Bupati, awal Oktober lalu.
Aksi protes kemudian meluas. Mahasiswa, tenaga honorer, dan masyarakat bergabung dalam gelombang demonstrasi yang menuntut transparansi dan keadilan. PMKRI Cabang Kefamenanu menjadi salah satu pihak yang paling vokal, menuding pemerintah daerah gagal menghargai proses hukum dan etika birokrasi. Sementara itu, DPRD TTU juga menunjukkan sikap kritis. Komisi I DPRD menyayangkan sikap eksekutif yang tiga kali absen dalam rapat klarifikasi, dan menilai keputusan tersebut perlu ditinjau ulang karena berpotensi menyalahi prosedur administrasi negara.
Fenomena ini menunjukkan lebih dari sekadar sengketa administratif. Di baliknya tersimpan persoalan mendasar: krisis kepercayaan publik terhadap birokrasi daerah. Keputusan yang berubah-ubah, kurangnya komunikasi, serta dugaan intervensi politik menimbulkan kesan bahwa proses seleksi ASN di TTU jauh dari prinsip meritokrasi. Bahkan, sebagian pengamat menyebut bahwa langkah pembatalan tersebut bisa menimbulkan preseden buruk bagi tata kelola kepegawaian di daerah.
Kasus serupa sebenarnya pernah terjadi sebelumnya. Pada awal 2025, Bupati Falen juga sempat membatalkan kelulusan 82 PPPK tahap pertama dengan alasan maladministrasi. Namun, beberapa bulan kemudian, SK pembatalan itu dicabut diam-diam dan SK asli diserahkan kembali tanpa klarifikasi resmi. Pola yang berulang ini semakin memperkuat persepsi publik bahwa pemerintah daerah belum memiliki sistem verifikasi data yang kredibel dan konsisten.
Meski demikian, di balik polemik tersebut, masih tersisa peluang untuk memperbaiki situasi. Pemerintah daerah dapat menjadikan peristiwa ini sebagai momentum untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat, melalui langkah-langkah transparan, partisipatif, dan berlandaskan hukum. Proses seleksi ASN harus menjadi simbol keadilan dan profesionalisme birokrasi, bukan alat politik atau kekuasaan.
Pada akhirnya, pembatalan 192 calon PPPK di TTU bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan ujian terhadap integritas pemerintahan daerah. Keputusan yang diambil hari ini akan dikenang bukan hanya oleh mereka yang kehilangan kesempatan, tetapi juga oleh masyarakat yang menilai seberapa jauh pemerintah bersedia berdiri di sisi kebenaran. Sebab, dalam tata kelola yang baik, keadilan bukan sekadar slogan namun harus hadir dalam setiap keputusan yang menyangkut nasib orang banyak.
(Emanuel Taena)